sekolah
catatan belajar

Sekolah Negeri atau Swasta?

Bu Yeni termenung menatap gerbang sekolah, tempat ia biasa menunggu anak pertamanya yang sudah duduk di bangku SD. Pikirannya melayang pada Ardi, si bungsu yang tahun depan akan masuk TK. Dilema besar menghinggapi hatinya. Sebagai seorang sandwich generation, Bu Yeni merasa terhimpit. Di satu sisi, ia ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya, terutama melihat lingkungan pergaulannya di kantor di mana hampir semua rekan kerjanya menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah swasta ternama. Namun di sisi lain, ia sadar betul ada banyak kebutuhan lain yang juga harus dipenuhi, seperti biaya hidup orang tua dan adiknya.

“Lagi melamun, Bu Yeni?” sapa Bu Sari, ibu dari teman sebangku anak pertamanya. Bu Yeni tersenyum tipis.

“Ini, Bu Sari. Lagi bingung mikirin Ardi, tahun depan udah mau masuk TK. Saya tuh bimbang, mending swasta atau negeri ya?” curhat Bu Yeni, “Saya pengen sih swasta biar fasilitasnya bagus, tapi kok ya ngerasa berat di ongkos. Apalagi kebutuhan lain kan banyak.”

Bu Sari mengangguk-angguk, “Oh, saya paham sekali Bu Yeni. Dulu saya juga merasakan hal yang sama. Tapi saya jadi teringat nasihat ibu saya, yang sampai sekarang masih saya pegang.”


Nasihat Bijak Bu Sari

Bu Sari menarik napas panjang, lalu memulai ceritanya dengan tenang.

“Dulu, saat anak pertama saya masuk sekolah, saya juga terpikat dengan nama besar sekolah swasta. Saya pikir, semakin mahal biayanya, semakin bagus kualitas pendidikannya. Akhirnya saya memaksakan diri, sampai harus berhemat sana-sini.”

“Tapi lama kelamaan saya sadar,” lanjut Bu Sari, “bahwa kualitas pendidikan anak tidak hanya ditentukan oleh sekolah, tapi juga oleh suasana di rumah. Sekolah itu ibaratnya hanya wadah. Mau wadahnya dari emas atau dari plastik, kalau isinya tidak diisi dengan baik, ya sama saja.”

“Maksudnya?” tanya Bu Yeni, penasaran.

“Begini, Bu Yeni,” Bu Sari menjelaskan, “daripada memaksakan anak masuk swasta hingga membuat kita berhemat habis-habisan, bahkan mengganggu kesejahteraan mental dan emosional keluarga, kenapa tidak kita ambil jalan tengah? Sekolah negeri saat ini juga sudah banyak yang bagus, kok.”

“Uang yang tadinya kita alokasikan untuk SPP sekolah swasta, bisa kita pakai untuk hal lain yang tak kalah penting. Misalnya, untuk mengasah minat dan bakat anak di luar sekolah, seperti les musik, les renang, atau ikut klub sains. Atau bahkan, kita bisa menggunakannya untuk membeli buku-buku yang lebih bervariasi, mengadakan family time yang berkualitas, atau sekadar menabung untuk masa depan anak. Dengan begitu, kita bisa memberikan pendidikan holistik tanpa harus mengorbankan kebahagiaan keluarga,” ujar Bu Sari bijak.

“Lagipula, anak-anak di sekolah negeri akan terbiasa berinteraksi dengan teman-teman dari berbagai latar belakang, Bu. Itu penting untuk melatih empati dan adaptasi mereka di masa depan,” tambah Bu Sari.

Bu Yeni mendengarkan dengan saksama. Nasihat Bu Sari seakan membuka mata dan melegakan hatinya. Ia sadar, selama ini ia terlalu fokus pada pandangan orang lain dan melupakan apa yang benar-benar dibutuhkan oleh keluarganya.

“Jadi, pilihan ada di tangan Ibu, apakah memilih wadah dari emas dengan segala konsekuensinya, atau memilih wadah yang sederhana namun tetap bisa kita isi dengan hal-hal yang berharga,” tutup Bu Sari, sambil tersenyum.

Di hari itu, Bu Yeni pulang dengan hati yang lebih tenang. Ia tidak lagi melihat gerbang sekolah hanya sebagai pintu masuk ke sekolah swasta atau negeri, melainkan sebagai awal dari perjalanan panjang yang akan ia lalui bersama keluarganya, dengan bijak, dan penuh kasih sayang.

Halo Mam, Kenalin aku Mam Yuni, ibu dari anak-anak sehat yang menulis blog ini sebagai jurnal aku belajar uang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *