Mitos-mitos seputar Bitcoin sering bikin kita penasaran, “emang iya?”—apalagi kalau baru kenal dunia kripto. Masih ada pro dan kontra soal Bitcoin, dan sebagai orang yang masih belajar, menurutku penting untuk melihat dua sisi informasinya.
Mulai dari yang katanya Bitcoin itu judi, bakal mati tanpa internet, sampai ramalan bahwa Bitcoin akan jatuh ke nol. Nah, kali ini saya coba mengulik beberapa mitos yang sering saya dengar.
Disclaimer: Saya bukan financial advisor. Tidak ada ajakan membeli aset apapun. Selalu lakukan riset dan atur keuangan sesuai kondisi masing-masing.
1. “Bitcoin itu judi”
Ini salah satu yang paling sering saya dengar. Katanya, beli Bitcoin itu kayak taruhan—tebak-tebakan harga naik atau turun. Padahal setelah saya pelajari, menurutku Bitcoin bukan judi.
Memang harganya fluktuatif, tapi itu karena supply dan demand yang belum stabil. Sama seperti saham di awal kemunculannya, aset baru pasti mengalami volatilitas tinggi. Tapi kalau lihat data, sekarang volatilitas Bitcoin mulai menurun, artinya sudah lebih stabil dibanding masa awal. Hal ini juga menjadi pertimbangan aku mulai melirik bitcoin. (sumber: coinvestasi)
Bedanya dengan judi, Bitcoin punya teknologi dan prinsip ekonomi yang jelas: ada whitepaper, mining, hash function, dan komunitas developer yang aktif mengembangkan ekosistemnya.
2. “Bitcoin bisa jatuh ke nol kapan saja”
Argumen ini juga sering banget muncul. “Bisa aja semua orang jual, terus harganya nol.”
Kenyataannya, gak semudah itu. Bitcoin sudah dipercaya dan digunakan secara global. Bahkan beberapa negara dan perusahaan besar seperti BlackRock menyimpannya sebagai bagian dari aset mereka.
Dengan supply maksimal 21 juta dan konsep kelangkaan (scarcity), nilainya sulit jatuh ke nol kecuali terjadi kehancuran total pada blockchain—yang sejak 2009 belum pernah terjadi.
3. “Bitcoin cuma buat orang kaya”
Dulu saya juga berpikir begitu. Ternyata salah. Banyak orang biasa yang belajar Bitcoin untuk literasi finansial, kirim uang lintas negara, atau tabungan jangka panjang. Bahkan di negara yang inflasinya tinggi, Bitcoin jadi alat bertahan hidup.
4. “Bitcoin gak punya nilai karena gak didukung aset fisik”
Banyak yang bilang, karena Bitcoin tidak dibackup emas atau aset fisik, maka nilainya nol.
Tapi faktanya, uang fiat juga sekarang tidak lagi didukung emas. Nilainya datang dari kepercayaan. Bedanya, Bitcoin punya nilai sistemik: langka, transparan, tahan sensor, dan bisa digunakan kapan saja di mana saja.
5. “Bitcoin boros energi dan tidak ramah lingkungan”
Mining memang butuh energi besar. Tapi pertanyaannya: energinya dari mana?
Banyak miner sudah beralih ke energi terbarukan atau memanfaatkan energi sisa seperti gas buang dan surplus listrik. Riset menunjukkan proporsi energi hijau di industri mining kripto lebih tinggi dibanding banyak sektor lain, termasuk perbankan.
6. “Bitcoin mati kalau internet mati”
Banyak yang mengira kalau internet mati, Bitcoin juga ikut mati. Memang kita terbiasa mengakses wallet dan blockchain lewat internet, tapi bukan berarti itu satu-satunya cara.
unya cara.
Bitcoin bisa ditransfer tanpa internet menggunakan SMS, radio gelombang pendek (HF radio), bahkan satelit. Jack Dorsey (pendiri Twitter) pernah mendukung teknologi ini, dan proyek seperti Blockstream Satellite sudah membuktikan kalau sinkronisasi blockchain bisa dilakukan via satelit.
Di beberapa negara dengan akses internet terbatas, komunitas Bitcoin sudah menguji cara ini dan berhasil. Jadi, Bitcoin lebih tangguh daripada yang kita bayangkan.
Kesimpulan
Dari semua mitos tadi, saya belajar satu hal: jangan langsung percaya sebelum benar-benar paham. Dunia kripto, khususnya Bitcoin, memang kompleks, tapi juga penuh inovasi.
Bitcoin mungkin bukan solusi untuk semua hal, tapi ia adalah awal dari perubahan cara kita memandang uang, kebebasan, dan kepercayaan. Menurutku, itu layak untuk dipelajari—bukan ditolak mentah-mentah.